![]() |
foto: mongabay |
IdnSides, Raja Ampat - Bentaran pulau-pulau cantik di provinsi Papua Barat Daya yang dijuluki Sepenggal Surga di Bumi kini tengah meringis kesakitan terancam kelestariannya oleh aktivitas tambang yang tengah masih dilakukan.
Juga dikenal sebagai "Heart of the Coral Triangle" Raja ampat terancam akan aktivitas pertambangan nikel yang kian masif di beberapa pulau kecil di wilayah itu. pertambangan yang ada memicu kekhawariran luas akan kerusakan lingkungan, ancaman terhapad pariwisata, dan dampak soasial bagi masyarakat adat. Dengan statusnya sebagai UNESCO Global Geopark dan destinasi wisata kelas dunia, Raja Ampat menghadapi dilema antara pembangunan ekonomi dan pelestarian ekosistem.
Ekploitasi Nikel di Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Berdasarkan laporan Greenpeace Indonesia, setidaknya ada lima pulau kecil di Raja Ampat yakni Pulau Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun telah menjadi sasaran ekploitasi tambang nikel. Empat perusahaan, yaitu PT Gag Nikel, PT. Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa, diketahui telah mengantongi izin Usaha Pertambangan (IUP).
Namun, Pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mengungkap pada Mei 2025 bahwa ada pelanggaran serius, termasuk penambangan di luar izin lingkungan dan tanpa dokumen Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) oleh PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batang Pele.
Greenpeace melaporkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah dibabat akibat aktivitas tambang di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Sedimentasi akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah juga mengancam terumbu karang, yang mencakup 75% spesies karang dunia, serta kehidupan biota laut seperti pari manta dan lebih dari 1.400 jenis ikan karang.
Kegiatan ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang penambangan di pulau kecil karena potensi kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.
Dampak Ekologis dan Sosial
Aktivitas tambang nikel tidak hanya mengancam ekosistem laut, tetapi juga hutan hujan tropis, mangrove, dan satwa endemik seperti burung cendrawasih botak di Pulau Waigeo. Sedimentasi dari limpasan tanah telah menyebabkan kekeruhan air laut dan kerusakan terumbu karang, yang menjadi tulang punggung ekowisata dan mata pencaharian masyarakat lokal.
Ronisel Mambrasar dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyoroti dampak sosial, seperti konflik internal masyarakat, kehilangan mata pencaharian, dan penggusuran ruang hidup akibat ekspansi tambang.
Raja Ampat menyumbang Rp150 miliar per tahun bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor pariwisata, dengan 30.000 wisatawan, 70% di antaranya wisatawan mancanegara, mengunjungi kawasan ini pada 2024. Namun, kerusakan lingkungan akibat tambang berpotensi menurunkan pendapatan pariwisata hingga 60%, mengancam ekonomi lokal yang bergantung pada ekowisata dan perikanan.
إرسال تعليق